Sejumlah Warga Korban Tsunami Lamsel Menolak Relokasi di Kedaton

0
422

Lampung Selatan, buanainformasi.com – Pemkab Lampung Selatan berencana menyediakan lahan di Desa Kedaton,Kecamatan Kalianda untuk merelokasi warga sejumlah desa di pesisir Lamsel yang menjadi korban tsunami Selat Sunda pada 22 Desember 2018 lalu. Namun sejumlah warga korban tsunami menolak usulan. Alasannya karena lokasinya terlalu jauh dari tempat tinggal lama mereka.

Rencana relokasi di Desa Kedaton itu berdasarkan usulan pada rapat koordinasi yang digelar pada Kamis lalu, 3 Januari 2019. Rakor digelar untuk menindaklanjuti kunjungan Presiden Jokowi Widodo pada Rabu 2 Januari 2019 lalu di Desa Kunjir dan Way Muli, Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan.

Di lahan milik Pemkab Lamsel seluas 6 hektare yang berada di Desa Kedaton itu rencananya akan dibangun rumah-rumah warga yang terdampak tsunami.

Menurut Plt Bupati Lampung Selatan, Nanang Ermanto, pemindahan lokasi hunian tetap untuk warga itu bukanlah tanpa alasan, tapi berdasarkan hasil survei tim di lapangan.

“Lokasi hunian tetap warga yang sebelumnya diusulkan di Desa Way Muli, Kecamatan Rajabasa memang berada di dataran tinggi, tapi kondisinya cukup curam dengan perbedaan ketinggian sekitar 24 meter,” kata Nanang, Jumat, 4 Januari 2018.

Selain itu, kata Nanang Ermanto, setelah memperhatikan kondisi lahannya, perlu adanya pematangan lahan (land clearing) dan hal itu membutuhkan biaya yang cukup tinggi.

“Kalau dibangun di tempat yang sama, itu sama saja kita merencanakan pembunuhan. Makanya kita cari lokasi yang aman untuk warga, karena bencana alam ini tidak bisa kita duga-duga,”ungkapnya.

Nanang menuturkan, berdasarkan Peraturan daerah (Perda) No. 15 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2011-2031 Pasal 29 ayat 4 tentang Kawasan Rawan Bencana,Kecamatan Rajabasa juga masuk dalam kawasan rawan longsor.

“Saya minta sama Pak Camat dan Kades agar menyosialisasikan  Perda ini  kepada masyarakat yang terkena dampak tsunami. Beri penjelasan. Jangan sampai terjadi permasalahan, Bappeda juga akan pasang beberapa banner tentang Perda RTRW  tersebut,”terangnya.

Sedangkan untuk hunian sementara, lanjut Nanang, pihaknya telah menyiapkan tempat di eks Hotel 56 Kalianda untuk 128 Kepala Keluarga dari daerah pesisir yang masuk wilayah Kecamatan Rajabasa.

“Jika dirasa memang tidak cukup, maka kami akan buatkan shelter-shelter di halaman bekas Hotel 56 Kalianda itu,” katanya.

Terkait relokasi dan tempat hunian tetap untuk warga terdampak tsunami berada di Desa Kedaton dan lokasi itu dirasa cukup jauh dari tempat asal mereka sebelumnya, mematik berbagai tanggapan dan penolakan dari warga yang menjadi korban tsunami sepeti Desa Way Muli, Kunjir dan Sukaraja.

“Ya kan di desa ini tempat kami mencari nafkah sebagai nelayan, dan disni juga kami membangun. Sudah 20 tahun saya bersama keluarga tinggal di disini, yang jelas kami ingin tetap disini tidak mau dipindah jauh dari desa kami ini. Kalau mau direlokasi dan dibuatkan rumah, mestinya jangan jauh dari tempat kami sebelumnya,”kata warga Desa Kunjir, Nurlaila.

Bahkan mengenai hal itu juga, kata Nurlaila, sudah ia katakan kepadaPresiden Joko Widodo saat mengunjungi lokasi desanya yang terkena dampak tsunami.

“Saat Pak Jokowi datang, kami sudah bicara langsung dan mau direlokasi. Tapi tempatnya jangan jauh dari tempat tinggal kami semula, Pak Jokowi mau mendengarkan keluhan kami,”ungkapnya.

Nurlaila menegaskan, jika Pemkab Lamsel mau merelokasi dan membuatkan rumah hunian untuk para korban tsunami dan tempatnya jauh dari tempat tinggalnya, ia dan warga lainnya menolak.

Hal yang sama diungkapkan Bakri, warga Desa Sukaraja, Rajabasa. Pria yang rumahnya juga rata dengan tanah akibat diterjang gelombang tsunami itu menolak jika harus direlokasi dan tinggal di tempat baru yang lokasinya jauh dari tempat tinggalnya semula di Desa Sukaraja.

“Saya sih setuju aja kalau mau direlokasi sama pemerintah daerah, tapi lokasinya ya jangan jauh dari tempat tinggal saya sebelumnya,” katanya.

Menurutnya, kalau direlokasi ke tempat lebih jauh dari laut, hal itu akan merepotkannya untuk mencari nafkah. Sebab, sehari-hari Bakri berprofesi  sebagai nelaya.

“Laut bukan hanya sumber mata pencaharian saja, yetapi sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan bagi kami selama ini. Saya takutnya nanti bingung mau kerja apa kalau tempat tinggalnya jadi jauh dari laut, pastinya kan perlu adaptasi lagi dilingkungan baru, pekerjaan baru dan kemungkinan akan timbul masalah sosial baru lainnya,”ungkapnya. (*)