Pengakuan Keluarga Saat Jasad Korban Kekerasan ’65 Ditemukan

0
666

1609108IMG-20150601-00605780x390SEMARANG,Buanainformasi.com – Ditemukannya 24 orang eks korban peristiwa berdarah 1965 yang terkubur dalam dua liang lahat di Kota Semarang, Jawa Tengah membuat sejumlah keluarga merasa lega. Raut bahagia mereka terpancar jelas dari cucuran air mata dan isak tangis, ketika tahu yang dikubur adalah keluarganya.

Sri Murtini, anak dari salah satu korban mendiang Joesef Setyo Widagdo terlhat terus menyeka pipinya ketika menemui makam ayahnya. Ia mengaku baru tahu makam ayahnya setelah dicari selama 50 tahun tidak berbuah hasil.

Akhirnya, beberapa hari belakangan, ia dikabari bahwa ayahnya telah dikubur di Dukuh Plumbon, Kelurahan Wonosari, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang. Makam itu sendiri berada di tengah hutan Kota Semarang milik Perum Perhutani Kantor Pemangku Hutan Wilayah Kendal.

Selama 50 tahun Sri tidak tahu kondisi Joesef, hingga beberapa hari lalu ia dihubungi seseorang dan mengabari ayah angkatnya menjadi salah satu orang yang dikubur di sana.

“Saya terima kasih sekali pada orang-orang yang mengurus ini. Saya selama 50 tahun cari bapak tidak ketemu. Sangat senang rasanya, terima kasih banyak,” kata Sri yang merupakan warga Cepiring, Kendal ini, Senin (1/6/2015).

Saat bapaknya dibawa, dia saat itu masih duduk di bangku sekolah dasar. Bahkan, malam sebelum dibawa, ia bersama ibunya masih tidur bersama.

“Bapak tak tahu malam-malam dibawa ke mana. Saat itu, saya tidur sama bapak dan ibu, kemudian bapak dibawa ke kecamatan. Sehabis itu enggak pulang, dan tidak tahu sampai sekarang,” tuturnya.

Setelah upaya tersebut, dia bersama ibunya terus mencari keberadaan ayahnya. Bahkan sampai ibunya wafat, ia masih belum berhasil menemukan jasadnya. Bahkan, Sri juga sempat ketiban sial ketika ada orang yang memanfaatkan situasi tersebut dengan meminta uang untuk diberi tahu keberadaan sang ayah.

“Dulu ada oknum yang memanfaatkan kami. Kami diminta kirim uang, makanan dan lain-lain. Dia janjinya mau kasih tahu bapak di mana. Tapi ternyata mereka bohong setelah dikirim uang,” ucap Sri.

Selain, beberapa kerabat yang memiliki hubungan keluarga dengan para korban juga tidak bisa menahan sedih. Mereka terlihat secara bergantian menabur bunga, hingga mengucap doa sesuai agama dan kepercayaannya.

Senada juga dirasakan Suwito, adik dari mendiang Darsono. Tubuh besarnya ternyata tak cukup untuk menahan derai air mata yang mengucur. Kakaknya sendiri saat ditangkap mempunyai fisik besar dan aktif di Pemuda Rakyat.

“Saat itu, saya masih kelas 1 SMP. Kakak saya ya petani biasa. Tapi dia dianggap tokoh, karena memperjuangkan tanah,” ujar Suwito.

Sebagai tokoh yang mengurusi tanah, sambungnya, tidak jarang banyak orang yang tidak puas. Mereka yang tidak suka lantas menuduh kakaknya sebagai anggota Partai Komunis Indonesia.

“Padahal kakak saya tidak begitu. Beliau meninggalkan dua anak kecil-kecil, tapi tidak bisa hadir di sini. Saya tahu juga baru dua minggu ini dikasih tahu,” tutur Suwito, warga Mranggen, Kabupaten Demak ini.

Sejauh ini, baru ada delapan nama yang berhasil diidentifikasi dari 24 nama korban kekerasan 1965 oleh aktivis hak asasi manusia. Para korban yang tercatat antara lain, Moutiah, Sosatjo, Darsono, Sachroni, Joesef, Seekandar, Doelkhamid, Soerono. (Sumber : Kompas.com)