Kronologi Retaknya Hubungan Pt Central Pertiwi Bahari  Dengan  Petambak Plasma Di Bratasena

0
9705
Kronologi Retaknya Hubungan Pt Central Pertiwi Bahari  Dengan  Petambak Plasma Di Bratasena
Kronologi Retaknya Hubungan Pt Central Pertiwi Bahari  Dengan  Petambak Plasma Di Bratasena

Tulang Bawang, buanainformasi.com-Di Desa tambak udang Bratasena Mandiri dan Adiwarna, Kecamatan Dente Teladas, Kabupaten Tulang Bawang pada 15 April 2016 lalu terjadi kekerasan dan pelanggaran hak asasi warga: 56 petambak dan keluarganya diusir dari desa karena dianggap melawan perusahaanCentral Pertiwi Bahari (CPB) dan tokoh-tokoh petambak pendukung perusahaan.

Sekilas Sejarah

Tahun 1980,  warga kampung Teladas di Pesisir Timur sungai Way Seputih yang berjumlah  sekitar 500 orang membuka lahan pertambakan dan pertanian dengan  luas areal sekitar 6000 hektar.  Warga melakukan usaha pertambakan dengan swadaya dan organik.

Tahun 1993, para petani petambak diundang pertemuan di Dusun Sungai Burung oleh satuan Brimob dan PT. Central Pertiwi Bahari (CPB). Mereka diharuskan menerima ganti rugi buka lahan senilai Rp 150.000 –250.000/0.5 ha lahan pertanian, Rp 3-4 juta lahan pertambakan, dan Kartu Plasma sebagai syarat menjadi Plasma. Warga yang menolak rumahnya dibakar.

Tahun 1995, dimulailah kemitraan Inti(CPB)-Plasma (petambak), dengan petambak diharuskan mengambil kredit bank 145 juta rupiah, yang oleh bank diserahkan kepada CPB sebagai penjamin. Sejumlah120 juta untuk petambak membeli 1 ha lahan tambak dan rumah bedeng yang dibangunkan PT CPB; dan 25 juta sisanya dikembalikan kepada petambak dalam bentuk saprodi (sarana produksi), bahan makanan pokok dan uang biaya hidup, Rp 150 ribu/bln.

Kemitraan diikat lewat Perjanjian Kemitraan (PKS) yang isinya ditentukan sepihak oleh CPB, petambak diharuskan tandatangan tanpa bisa sungguh memahami ataupun mengusulkan perubahan isi.

Pelaksanaan kemitraan sangat merugikan petambak karena CPB menentukan harga saprodi sangat tinggi, dan harga udang saat panen sangat rendah. Setelah bermitra 20 tahun, 1995-2015, hutang 96% petambak berkisar 200-800 juta, 2% berhutang 1,6 milyar, dan hanya 3% lunas. Petambak yang lunas harus menyimpan uang di  perusahaan, Rp 25-125 juta/panen.

Maret 2012 petambak mendirikan Forsil (Forum Silaturahmi), organisasi yang memperjuangkan kemitraan adil. CPB memaksa petambak membubarkan organisasi tersebut dengan cara menghentikan tebar benih; tidak memberikan bahan pokok dan biaya hidup bulanan sehingga para petambak dan keluarganya nyaris kelaparan; memecat 300 istri petambak yang bekerja di cold storage; menghentikan pasokan air bersih ke rumah-rumah pengurus Forsil; dan merekayasa bentrok fisik antar petambak,yang meledak pada 12 Maret 2013 yang memakan korban sedikitnya 9 meninggal, sekitar 100 luka ringan dan berat, 10 pengurus Forsil dikriminalkan dan 2 orang dipenjara.

Pasca bentrok, kemitraan Inti-Plasma berlanjut, tetapi PKS tetap tidak adil, intimidasi dan pemaksaan terus terjadi.

CPB mengkooptasi sebagian pengurus inti Forsil sehingga organisasi pecah. Para aktivis inti yang masih berpihak kepada kepentingan petambak memisahkan diri.

PENGUSIRAN

PT  CPB (Central Pertiwi Bahari) menggunakan Pengurus Inti Forsil sebagai kepanjangtanganan untuk melakukan teror, intimidasi dan pengusiran pada para wakil petambak yang menemui Menteri Tenaga Kerja. Nampaknya politik adu domba  seperti yang terjadi pada tahun 2013 dimaksudkan untuk diulang kembali oleh CPB menggunakan Forsil dan Pengurus Inti.

Pada 31 Maret 2016, dengan difasilitasi UPC, 2 perempuan dan 8 lelaki wakil petambak (di luar Forsil) menemui Menteri Tenaga Kerja untuk menyampaikan permasalahan mereka dan mengusulkan pemecahan. Sekembali dari Jakarta mereka diintimidasi dan diteror. Warga diprovokasi dengan informasi bahwa tim yang ke Jakarta mau membubarkan pola kemitraan Inti-Plasma, dan bermaksud melepaskan diri dari ikatan kerjasama dengan CPB. Pada 01 April 2016, mengirimkan surat permohonan audiensi dengan menteri KKP Yang diberi catatan rekomendasi oleh Menteri Tenaga Kerja.

Pada 5 April, Kepala Kampung Bratasena Mandiri yang merupakan salah satu anggota Tim 10 yang bertemu dengan Kemenaker didatangi oleh Satgas dan Pengurus Inti Forsil bersama ratusan warga yang dimobilisasi mereka. Mereka meminta Kepala Kampung mengundurkan diri karena dia dianggap tidak mampu melaksanakan tugasnya sebagai Kepala Kampung, sebuah alasan yang dicari-cari hanya untuk meneror dan menyingkirkan Kepala Kampung. Pada 9 April mereka mengulangi kedatangan, dan menyegel Balai Kampung.

Pada 11 April, Kepala Kampung Bratasena Mandiri dipanggil datang ke Kecamatan Dente Teladas. Camat membuat SK PLH (Pelaksana Harian) untuk Kepala Kampung Bratasena Mandiri, dan membuka segel Balai Kampung untuk membuat administrasi desa berfungsi. Dengan maksud meredakan provokasi, Tim 10 membuat permohonan kepada Kepala Kampung Bratasena Adiwarna untuk mengundang semua warga guna menyampaikan hasil pertemuan dengan Kemenaker. Permintaan tersebut ditolak.

Pada 15 April 2016 pagi, tanpa mendapatkan ijin Kepala Kampung Adiwarna, Tim 10 mengadakan acara sebagaimana direncanakan. Pengurus Forsil melarang warga untuk hadir, dan mengancam bahwa warga yang hadir akan diusir keluar desa. Pada 09.30 Pengurus Inti Forsil bersama sekitar 10 Polisi dari Polsek setempat membubarkan pertemuan tersebut. Jam 16.00, 10 orang tersebut bersama keluarganya diusir oleh pengurus Forsil pendukung CPB dari desa. Malamnya, Satgas Forsil menyisir satu per satu 46 KK  yang menghadiri pertemuan diatas, dan mengusir mereka dari desa. Malam itu, sebagian petambak yang diusir harus lari dan menyembunyikan diri di semak-semak untuk menyelamatkan diri dan nyawa mereka. Korban pengusiran berjumlah 62 KK (total 277  jiwa, di antaranya 69 anak-anak dan 5 perempuan hamil).

Sebagian besar rumah yang ditinggalkan oleh korban pengusiran dirusak dan dijarah Satgas Forsil. Jutaan uang, barang-barang electronik,  ikan budidaya, tanaman pertanian hilang dan rusak.

Pada 22 April, warga yang terusir membuat laporan tentang pengusiran dan perusakan tersebut ke Mapolres Tulang Bawang. Laporan tidak di-BAP dan tidak ditindaklanjuti.

Pada tanggal 28 April, Kontras mengirim surat ke Kapolri dan menelpon Kapolda.

12 Mei, kami melapor ke Kapolda di Kantor Tenda Saburai, Bandar Lampung, ditemui oleh Irwasda Kombes Budi Susanto yang langsung menelpon Kapolres Tulangbawang mempertemukan pihak-pihak terkait (CPB, Forsil, Korban Pengusiran dan Pemkab Tulangbawang dan Polres).

Tanggal 13 Mei 2016, pertemuan berlangsung di Pemkab Tulangbawang. Hasil pertemuan adalah perintah dari Wakil Bupati dan Kapolres kepada Muspika Kecamatan untuk dalam waktu satu minggu menyelesaikan kasus pengusiran dan pemecatan Kepala Kampung.

Tanggal 16 Mei 20016, pertemuan dengan Slamet Subiyakto (Ditjen Budidaya Perikanan KKP) yang berjanji akan memediasi petambak dan perusahaan dan menginformasikan setiap perkembangannya. Sampai sekarang tidak ada berita apapun dari Slamet Subiyakto.

Tanggal 17 Mei 2016, bantuan dari Dompet Dhuafa berupa 6 pengacara sebagai pendamping hukum dan dana bertahan hidup sebesar Rp. 30 Juta.

Tanggal 19 Mei 2016, CPB memberikan surat pemberitahuan kepada para petambak yang terusir  untuk mengalih kelolakan tambak kepada orang lain.

Tanggal 20 Mei 2016, sebagai pertemuan tindaklanjut tanggal 13 Mei, Muspika Kecamatan  mengadakan pertemuan di Kecamatan untuk membahas rencana  petambak yang terusir untuk kembali ke lokasi petambak. Namun Muspika menyerahkan keputusan kepada Forsil yang defacto adalah pengusir. Forsil mengulur waktu untuk memberikan keputusan sampai sekarang, bahkan Forsil mengusulkan pemecatan para petambak terusir kepada CPB.

Tanggal 23 Mei 2016, Pemkab Tulangbawang memberikan bantuan beras 2,8 ton.Tanggal 31 Mei 2016, CPB  mengeluarkan surat peringatan kedua. Tanggal 4 Juni 2016, CPB mengeluarkan surat peringatan ketiga. Pada 23 Juni kami menemui Kapolda untuk kedua kalinya. Kapolda berjanji akan memulangkan kami sebelum Lebaran. Sampai sekarang kami masih tetap di pengungsian.

Pada tanggal 04 Juli 2016, Riza Damanik  (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia) dan Haris Azhar (KONTRAS)  menelpon Bupati Tulangbawang dan Kapolda Lampung serta Polres Tulangbawang untuk mereka turun tangan agar para petambak yang terusir dapat kembali ke rumah mereka.

Tanggal 11 Juli 2016, CPB  mengeluarkan surat PHK terhadap 53 orang petambak yang terusir, karena 9 petambak sudah mengalihkelolakan tambaknya.

Para etambak berharap Rekan mereka (Para Petambak yang terusir) dapat secepatnya kembali kerumah dan pekerjaan dengan aman dan damai.