Hakim Agung Sebut, Praktik Politik Uang Saat Pemilu Merupakan Masalah Sosiologis

0
102

Jakarta, Penacakrawala.com – Irfan Fachruddin menyinggung adanya masalah sosiologis dalam politik uang setiap kali perhelatan pemilu di Indonesia. Hal ini ia sampaikan dalam diskusi Rapat Koordinasi Nasional Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang digelar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, hari ini, Selasa (20/9/2022).

“Politik uang ini kan sudah jelas aturannya, sudah terang sanksinya, kenapa tetap berlangsung “ungkap Irfan dalam diskusi yang disiarkan langsung via YouTube Bawaslu RI, Selasa, (20/9/2022). “Ada aturannya tapi tetap dilanggar itu bagaimana? Ini (masalah) sosiologis,” katanya. Irfan menambahkan bahwa secara faktual, politik uang masih menjadi fenomena yang marak di Indonesia.

Dalam kesempatan yang sama, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyinggung soal jumlah perkara politik uang pada Pemilu 2019. Ketika itu, terdapat 380 putusan berkekuatan hukum tetap (inkrah) terkait tindak pidana pemilu. Politik uang menyumbang kasus terbanyak (69 terpidana), disusul memberikan suara lebih daru 1 kali (65 terpidana) dan penggelembungan suara (43 terpidana). Padahal, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu secara jelas melarang politik uang lewat Pasal 523, serta mengatur sanksinya bagi pelaksana, petugas, dan peserta kampanye.

Titi juga menyitir survei Global Corruption Barometer di mana dari tujuh pemilih di Asia, satu di antaranya terpapar politik uang. Bahkan, Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam hal ini, dengan 26 persen pemilihnya terpapar politik uang. Hanya Thailand dan Filipina yang lebih buruk dari Indonesia dalam kasus politik uang.

“Ini masalah faktual. Kalau lebih banyak yang tidak menegakkan dibanding yang menegakkan, di mana pun tidak akan tegak,” kata Irfan. “Persoalan ini perlu dibicarakan bersama. Di sini kan para pemuka masyarakat. Tolong diselesaikan secara sosiologis,” ungkapnya.(**/Red)